This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 25 April 2011

Saran Dokter untuk pasien Belum Tentu di pakai Saat Dokternya sendiri Sakit.


Durham, North Carolina, Saran pengobatan yang diberikan oleh dokter pada pasiennya belum tentu sama ketika dokternya sendiri yang sakit. Bukan karena pelit berbagi ilmu atau ingin membeda-bedakan, tapi dokter wajib memilih terapi paling aman untuk pasiennya.

Seringkali, terapi yang dikategorikan aman tidak menjamin suatu penyakit bisa cepat sembuh. Sebaliknya pengobatan yang bisa menyembuhkan penyakit dengan cepat biasanya lebih banyak memiliki efek samping dan risiko kegagalan atau bahkan kematian.

Sebagian dokter lebih mengutamakan keamanan dibandingkan kemanjuran sebuah metode pengobatan, jika sedang berhadapan dengan pasiennya. Namun ketika dirinya sendiri yang sedang sakit, maka kemanjuran terapi lebih diutamakan dibandingkan keamanan.

Hal ini terungkap dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh Dr Peter A Ubel dari Duke University di North Carolina. Dr Ubel mensurvei 242 dokter terkait metode pengobatan kanker usus, dan 1.600 dokter terkait metode pengobatan flu burung.

Hasil survei menunjukkan, 38 persen dokter memilih operasi jika dirinya terkena kanker usus karena cara itu paling efektif. Namun jika bukan dirinya yang sakit, hanya 25 persen dokter yang menyarankan operasi ke pasien dengan alasan risiko kematian lebih besar.

Demikian juga pada pengobatan flu burung, 63 persen dokter menggunakan obat paling mutakhir meski banyak memiliki efek samping jika dirinya sendiri yang sakit. Namun jika yang sakit adalah pasien, hanya 49 persen dokter yang menyarankan obat mutakhir dengan alasan banyak efek samping.

"Perbedaan ini tak ada hubungannya dengan moral dan etika. Saya pikir tidak ada pasien yang mau ambil risiko dengan pengobatan yang risikonya tinggi alias tidak aman," ungkap Dr Ubel seperti dikutip dari Reuters, Selasa (12/4/2011).

Pendapat senada juga diberikan oleh seorang psikolog dari University of Illinois, Alan Schwartz. Menurutnya jika sebagian dokter sering membeda-bedakan jenis terapi untuk pasien dan untuk dirinya sendiri, maka kecenderungan itu sangat manusiawi.

"Selalu ada masalah ketika seseorang termasuk dokter harus memutuskan suatu hal yang penting bagi orang lain. Kita tahu, dokter tidak selamanya bisa menebak apa yang dimaui oleh pasiennya sehingga lebih memililih cara aman," ungkapnya.

(up/ir)

Perlukah Kita Menanyakan Hasil Diagnosis Dokter ?


Jakarta, Pengobatan yang tidak rasional bisa terjadi karena dokternya tidak kompeten, ditunjang ketidaktahuan pasien soal penyakitnya. Untuk mempelajari sendiri penyakitnya, pasien juga kesulitan karena kadang-kadang tidak tahu apa diagnosisnya.

Seperti manusia pada umumnya, dokter juga bisa salah dalam menangani pasien. Selain karena ceroboh, kesalahan juga bisa terjadi karena dokter kurang mengikuti perkembangan ilmu dan hanya meyakini teori yang dianggap benar pada zaman ia masih kuliah.

Agar tidak menjadi korban kelalaian dokter, pasien sangat dianjurkan untuk bersikap kritis dan aktif mencari tahu penyakitnya. Salah satu tindakan yang bisa dilakukan oleh pasien adalah menanyakan diagnosis yang jelas mengenai penyakitnya pada dokter.

Hal ini disampaikan oleh dokter anak sekaligus pendiri Yayasan Orangtua Peduli, Dr Purnamawati S Pujiarto, SpA(K), MMPed dalam lokakarya bertema "Sudah Tepatkah Obat Anda?" di Graha CIMB Niaga, Jl Sudirman, Kebayoran Baru, Senin (25/4/2011).

"Misalnya dokter bilang sakit gondok. Itu saja tidak cukup, pasien harus aktif tanya gondok itu apa. Kalau sudah tahu gondok itu istilah medisnya tiroid, tanyakan juga ada apa dengan tiroidnya? Apakah fungsinya berlebih atau berkurang," ungkap dokter yang akrab disapa Dr Wati ini.

Saat periksa ke dokter, seorang pasien minimal harus tahu beberapa hal sebagai berikut:


  1. Apa diagnosis atau masalah yang dihadapi dan apa penyebabnya?
  2. Treatment plan atau apa yang harus dilakukan dan mengapa harus demikian?
  3. Kapan harus cemas, harus kontrol dan harus rawat inap?

Termasuk ketika dokter menyarankan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium, pasien wajib menyampaikan beberapa pertanyaan berikut agar tidak terjadi pemborosan waktu dan biaya.

  1. Apa tujuan pemeriksaan lab ini?
  2. Mengapa saya membutuhkannya?
  3. Apa risikonya jika saya tidak melakukan pemeriksaan ini?
  4. Apakah ada alternatif lain?
  5. Berapa harga pemeriksaan ini?
  6. Apakah pemeriksaan ini cukup akurat?
  7. Jika hasilnya positif apakah saya pasti sakit?
  8. Jika hasilnya negatif apakah  pasti tidak sakit?

Bagi orang awam, istilah medis kadang memang terdengar rumit dan lebih mudah untuk mengingat istilah populernya yakni sakit gondok. Namun dengan mengetahui istilah bakunya, maka pasien akan lebih mudah menelusuri sendiri informasi tentang penyakitnya.

(up/ir)

Senin, 18 April 2011

Anak Anda Punya Bakat Pemimpin



KOMPAS.com — Anak Anda punya bakat jadi pemimpin? Perhatikan, apakah ia selalu "mengatur" teman-temannya mengenai permainan apa yang akan dilakukan? Apakah teman-temannya dengan sukarela mengikuti kemauannya? Apakah ia selalu berani mengungkapkan pendapatnya, dan meminta untuk diberi kesempatan menyanyi atau berdoa di depan kelas?

Mungkin, belum semua anak menunjukkan perilaku yang menunjukkan karakter seorang pemimpin. Lalu, bagaimana cara mendorong mereka untuk mengembangkan perilaku kepemimpinan?

1. Tanyai pendapat mereka
Saat sedang bersama-sama di rumah, tanyakan pada mereka hal-hal seperti, "Kamu mau pakai kaus yang merah atau yang biru?" Atau, "Kamu mau susu cokelat atau vanila?" Dengan menjawab pertanyaan seperti ini, mereka melatih kemampuan berbicara asertif, dan bagaimana membuat keputusan yang baik.

2. Kenalkan mereka pada pemimpin
Ceritakan pada mereka mengenai sejumlah tokoh pemimpin, entah dari buku cerita, acara di TV, atau orang-orang yang ada di lingkungan Anda. Saat mereka melihat bagaimana pemimpin beraksi, mereka akan tahu bagaimana perilaku seorang pemimpin. Kelak, ia pun akan meniru tingkah laku tersebut.

3. Puji perilaku kepemimpinan mereka
Jika mereka tidak tahu apa yang Anda inginkan, mereka tak akan pernah melakukannya. Karena itu, saat Anda tahu mereka melakukan suatu tindakan memimpin atau membuat keputusan yang baik, sampaikan pada mereka. Katakan, "Nah, gitu dong! Ibu senang kalau kamu mau berbagi!"

4. Lakukan kegiatan yang membantu mereka menunjukkan kemampuan memimpin
Kenalkan mereka pada kegiatan-kegiatan yang membantu mereka melakukan kemampuan memimpin. Misalnya, membantu mengatur barisan teman-temannya saat acara outing dari sekolah. Ketika mereka dibiasakan untuk melakukan hal-hal seperti ini, mereka juga akan mampu mempraktekkannya di rumah maupun di tempat lain.

5. Bantu mereka menentukan tujuan pribadi
Ketika mereka menentukan tujuan untuk diri mereka sendiri, yang tak ada hubungannya dengan kepentingan orang lain, otomatis mereka akan mendemonstrasikan kemampuan leadership. Sebab, mereka akan memimpin diri mereka sendiri.


Sumber: Shine

Peran Ibu dan Ayah Berbeda



Ayah dan ibu memiliki peran yang berbeda dalam memberikan pengetahuan dan pengajaran kepada anak. Diharapkan orangtua memahami perkembangan anak dan mengimbanginya dengan pengetahuan.
KOMPAS.com - Peran orangtua terhadap pertumbuhan dan kelengkapan kecerdasan anak sangat berbeda. Psikolog Roslina Verauli, MPsi, dari Klinik Empati dan RS Cengkareng, pada acara Smart Parents Conference di Jakarta beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa sama seperti anak, orangtua juga memiliki jenis kelamin dan temperamen yang berbeda sehingga turut memberikan cara-cara yang berbeda dalam pengasuhan.
Secara umum, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan anak-anaknya. Namun ada sedikit perbedaan sentuhan dari apa yang ditampilkan oleh ayah dan ibu.
Peran ibu  1. Menumbuhkan perasaan mencintai dan mengasihi pada anak melalui interaksi yang jauh melibatkan sentuhan fisik dan kasih sayang.
2. Menumbuhkan kemampuan berbahasa pada anak melalui kegiatan-kegiatan bercerita dan mendongeng, serta melalui kegiatan yang lebih dekat dengan anak, yakni berbicara dari hati ke hati kepada anak.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin perempuan, tentang bagaimana harus bertindak sebagai perempuan, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari seorang perempuan.
Peran ayah
1. Menumbuhkan rasa percaya diri dan kompeten pada anak melalui kegiatan bermain yang lebih kasar dan melibatkan fisik baik di dalam maupun di luar ruang.

2. Menumbuhkan kebutuhan akan hasrat berprestasi pada anak melalui kegiatan mengenalkan anak tentang berbagai kisah tentang cita-cita.

3. Mengajarkan tentang peran jenis kelamin laki-laki, tentang bagaimana harus bertindak sebagai laki-laki, dan apa yang diharapkan oleh lingkungan sosial dari laki-laki.
Menurut Roslina, peran orangtua dalam pengasuhan anak berubah seiring pertumbuhan dan perkembangan anak. Karenanya, diharapkan orangtua bisa memahami fase-fase perkembangan anak dan mengimbanginya. Menurut pakar psikologi perkembangan, Jean Piaget, anak perlu melakukan aksi tertentu atas lingkungannya untuk dapat mengembangkan cara pandang yang kompleks dan cerdas atas setiap pengalamannya. Sudah menjadi tugas orangtua untuk memberi anak pengalaman yang dibutuhkan anak agar kecerdasannya berkembang sempurna.

Pentingnya Peran Ayah Mengasih Anak Sejak Balita


KOMPAS.com - Anak membutuhkan peran dan sosok ayah, terutama mereka yang mulai beranjak remaja. Sayangnya, kehadiran ayah dalam kebanyakan keluarga tak dirasakan secara psikis meski secara fisik ia hadir di rumah. Peran pengasuhan lebih banyak dilimpahkan kepada ibu. Alhasil, saat tanda pubertas datang pada anak remaja (terutama anak laki-laki), mereka tak punya teman bicara dan tak punya panutan untuk berperilaku sesuai peran gendernya.
Anak membutuhkan ayah yang bisa merangkul sejak dirinya masih balita, dan memantau tumbuh kembangnya termasuk saat masa pubertas. Anak akan memiliki sikap terbuka kepada orangtua, jika orangtua sudah membangun kedekatan dengan anak sejak anak masih kecil.
"Jika orangtua sudah membagi peran sejak anak lahir, anak bisa mengindentifikasi peran ayah dan ibunya. Pembagian peran dimulai sedini mungkin, saat toilet training misalnya. Ayah bertugas mengajarkan anak laki-laki, dan ibu mengajarkan anak perempuannya. Kedekatan yang dibangun sejak dini membuat anak akan terbuka di kemudian hari kepada ayah atau ibunya," jelas psikolog dra M Louise, MM, Psi, saat peluncuran buku Panik Saat Puber? Say No!!! karya dr Aditya Suryansyah Semendawai, SpA, di Magenta Cafe, Pasific Place Jakarta, Rabu (6/4/2011).
Komunikasi dan hubungan ayah-anak yang dibangun sejak kecil akan memengaruhi tumbuh kembang anak. Saat beranjak remaja dan mengalami pubertas, anak yang dekat dengan ayahnya takkan sungkan membicarakan masalah yang dihadapinya.
"Anak akan datang ke ayah atau ibu sesuai kebutuhannya, jika sejak kecil mereka mengenal pembagian peran orangtuanya. Anak laki-laki, saat menghadapi masalah pubertas, akan lebih terbuka berbicara dengan ayah ketimbang ibunya. Begitupun dengan anak perempuan, akan lebih nyaman membicarakan menstruasi kepada ibunya. Di sinilah pentingnya pembagian tugas ayah ibu dalam mengasuh anak sejak kecil. Karenanya ayah harus memulai bicara dengan anak sebagai teman, bulan sebagai diktator. Sebuah keluarga membutuhkan tokoh laki-laki, dalam hal ini ayah, sebagai panutan. Terutama panutan anak laki-laki dalam keluarga, supaya ia bisa belajar cara berpikir laki-laki dari ayahnya, dan berperilaku sesuai gender," lanjut Louise.
Saat anak memasuki masa pubertas, kebutuhan sosok ayah ini sangat dibutuhkan. Ayah perlu memulai pembicaraan dengan anak, mengikuti perubahan dalam diri anak, termasuk secara psikis. "Orangtua perlu bicara dengan hati, pendekatan dengan cinta," lanjut Louise, menambahkan bahwa ayah juga perlu berbicara dengan anak sesuai kebutuhannya dengan menjadikan anak remaja sebagai sahabat.

Bangun Kebiasaann Baik Di Mulai Dari Rumah


KOMPAS.com - Sekolah berawal dari rumah. Sebelum berguru dengan pengajar di sekolah, anak-anak lebih dulu mendapat pendidikan dari orang tuanya. Kita menyebutnya pelajaran keterampilan hidup. Menurut Toge Aprilianto, MPsi, dalam bukunya Saatnya Melatih Anakku Berpikir, keterampilan hidup dapat mengembangkan potensi yang dimiliki anak secara optimal. Hal inilah yang nantinya akan memampukan anak menjalani kehidupannya dengan nyaman.

Lantas, bagaimana jika anak menunjukkan perlawanan saat kita berusaha untuk memasukkan ketrampilan itu ke dalam dirinya? Menurut Hal Edward Runkel, terapis keluarga sekaligus penulis buku Scream Free Parenting, perlawanan timbul karena orang tua menempatkan posisinya sebagai "pemerintah" dan "penuntut" pada anak. Padahal, tidak harus sampai begitu. Kita bisa menerapkan trik-trik pintar yang memudahkan anak menyerap apa yang kita ajarkan.

Lebih lanjut, coba telusuri apa saja contoh ketrampilan yang perlu dimiliki anak. Lalu, terapkan dengan tanpa harus terlalu memaksa sesuai tahapan usia. Tak perlu adu kata-kata, atau bahkan adu otot.

Usia 2-5 tahun
Toge mengemukakan, pada usia inilah, anak biasanya memiliki kemampuan dasar untuk membangun ketrampilan memilih yang enak dan menolak yang tidak enak. Pada masa ini, anak juga mulai belajar:

1. Melepas dot atau bantal kesayangan
Caranya: Alihkan perhatian anak dari dotnya. Coba berikan ia mainan pengalih seperti boneka atau buku. Jadi, jangan sampai kita mengambil paksa dotnya, tapi tak memberikan ia pengalih apapun. Anjuran ini juga diungkapkan oleh Joshua Sparrow, MD, asisten profesor psikiater di Harvard Medical School sekaligus tim penulis buku Touchpoints Three to Six: Your Child Emotional and Behavioral Development.

Lakukan saat: Anak sudah sanggup memilih apa yang ia inginkan. Bila belum, anak biasanya memilih alternatif yang kita sebut terakhir. Misalnya, kita sediakan "dot atau mainan", maka anak akan menjawab "mainan". Begitu juga sebaliknya, "mainan atau dot", maka anak akan menjawab "dot".

2. Kosakata baru
Caranya: Perkenalkan sebanyak mungkin kata baru. Gunakan kartu kosakata bergambar. Latih juga kemampuan anak dalam mendengar, misalnya dengan memutar video atau lagu. Plus, tak usah ragu mengenalkan istilah baru meski tak lazim.

Lakukan saat: Mengisi waktu luang dengan anak lewat bermain dan mengobrol. Ayah dan ibu sebaiknya melakukan ini bersama-sama. Mengenai hal ini, penelitian dari Journal of Applied Psychology dilakukan terhadap keluarga di mana ayah dan ibunya sama-sama bekerja. Hasilnya: sosok ayah berperan besar mengembangkan bahasa anak, khususnya di usia 2-3 tahun.

3. Berkenalan dan bersalaman
Caranya: Ajarkan metode 3B: beri senyuman, berdiri tegak, dan berkata lantang. Plus, 3M: mengingat nama, menyebutkan ulang, sambil menjabat tangan. Ini saran dari Sheryl Elberly, penulis buku 365 Manners Kids Should Know.

Lakukan saat: Anak ingin memulai percakapan dengan orang baru. Beri pengertian agar anak tidak menolak ajakan perkenalan atau malah menjauh. Selain itu, latih juga ia untuk selalu mengucapkan nama temannya ketika akan berpisah. Cara ini efektif untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekaligus melatih kemampuan mengingat.

Usia 6-9 tahun
Pada tahapan usia kali ini, Toge menyampaikan bahwa kemampuan anak semakin berkembang. Mereka sudah mulai membangun keterampilan memperjuangkan keinginan, menghadapi akibat, dan menciptakan solusi. Di usia ini anak bisa diajak belajar:

1. Minta bantuan ketika tersesat
Caranya: Minta anak untuk mengingat nama ayah atau ibunya. Juga kenalkan anak pada sosok polisi, kasir, atau resepsionis. Katakan, jika tersesat hampiri mereka untuk minta tolong.

Lakukan saat: Kita dan anak tengah berada di tempat umum seperti pusat perbelanjaan. Ajari anak sambil bermain simulasi. Ketika di mal, katakan padanya, "Ayo kita bermain. Pura-puranya kamu sedang tersesat. Kira-kira apa yang akan kamu lakukan?"

2. Menerima dan merespon kritikan
Caranya: Bantu ia memahami konsep konsekuensi. Ajarkan konsekuensi jujur seperti, "Kalau kamu nakal, kamu tidak akan disukai teman-teman."

Lakukan saat: Ia berbuat salah. Beritahu apa kesalahannya, lalu tegurlah dengan nada tegas namun tak menghakimi. Beri juga mereka waktu untuk mencerna dan merasakan emosi yang timbul. Jika sudah tuntas, jangan diungkit-ungkit lagi kesalahannya.

3. Memecahkan masalah dengan tenang
Caranya: Tumbuhkan rasa kemandirian anak. Abaikan jika ia minta dibela. Orang tua cukup mengawasi, tapi tak ikut campur. Begitu anjuran dari Anthony Wolf, psikolog anak dan penulis buku Mom, Jason's Breathing on Me! The Solution to Sibling Bickering. "Dengan rasa mandiri, anak akan terbiasa menyelesaikan masalahnya secara tenang," kata Derrek Lee, pendiri Chicago Cubs. Ini jauh lebih menguntungkan ketimbang anak bereaksi dengan kasar.

Lakukan saat: Kita tengah mendampingi anak menyaksikan tayangan televisi, baik berupa berita ataupun film. Penting untuk menjelaskan pada mereka bahwa adegan kekerasan bukanlah jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah.

Usia 10 +
Selanjutnya, pada tahapan usia ini, Toge bilang, anak sudah mulai menentukan perilaku dan mengatur strategi sebagai pelengkap keterampilan hidup. Misalnya, anak mulai belajar:

1. Berempati dan sabar
Caranya: Sering bertanya kepada anak mengenai pendapatnya jika berada pada situasi yang sulit. Sebagai contoh, "Kalau temanmu sakit, sikapmu bagaimana?" Menurut Runkel, melatih anak menjawab pertanyaan seperti ini akan membantu mengasah emosinya.

Lakukan saat: Kita mengantar anak ke sekolah, makan di luar, atau tengah berdua dengannya. Jika kita menemukan jawaban yang kurang pas, beri respons dengan lembut dan arahkan dia untuk punya pandangan positif.

2. Membaca label kemasan
Caranya: Bantu anak memahami istilah pada kemasan. "Anak akan cepat belajar memilih makanan jika diajari secara berkala," kata David Katz, MD, MPH, asisten profesor bidang kesehatan masyarakat di Yale University. Trik lain: Gunakan peraga untuk menunjukkan berapa banyak gula dan garam yang terdapat dalam makanan. Atau bisa juga dengan mengikuti panduan makan sehat bagi anak di situ-situs kesehatan.

Lakukan saat: Berbelanja bulanan atau berburu jajanan bersama. Tunjukkan berbagai variasi makanan yang lebih sehat di antara makanan lainnya. Lalu, biarkan anak menentukan pilihannya. Jika ia memilih jajanan tak sehat, beritahu kalau zat ini tak baik bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.

3. Menggunakan kebebasan
Caranya: Gunakan sistem imbalan. Misalnya, anak baru boleh main kalau ia sudah selesai mengerjakan tugas. Sepakati juga berapa lama jam main anak. Lalu tanyakan, ia akan bermain ke mana. "Kalau anak punya alasan logis, setujui saja. Jika tidak, maka sudah selayaknya kita melarangnya," kata psikolog Janet Edgette.

Lakukan saat: Anak sudah bisa memutuskan mana hal yang prioritas yang mau ia kerjakan. Plus, kalau anak sudah pandai membagi waktu dan mengatur jadwalnya sendiri, serta mampu menyelesaikan semua tugas-tugasnya dengan baik.
(Prevention Indonesia/Intan Sari Boenarco/Siagian Priska)

Selasa, 12 April 2011

Pola Makan Sehat Untuk Anak


Kompas.com - Dalam tahapan tumbuh kembangnya, anak perlu variasi nutrisi dengan porsi tertentu sesuai pedoman gizi. Akan tetapi selain nutirisi dalam menu makannya yang perlu jadi perhatian, pola makan anak juga harus dibentuk sedini mungkin.
Apa yang diasup balita sangat bergantung dengan apa yang disiapkan dan disajikan orangtuanya. Jika si kecil tidak pernah diperkenalkan dengan ikan dan sayuran, bukan tidak mungkin anak juga sulit menyukai makanan sehat saat dewasa nanti.
"Orangtua punya peran penting untuk memberi contoh makanan bergizi cukup dan seimbang karena kebiasaan keluarga akan memengaruhi pola makan anak," kata dr.Fiastuti Witjaksono, Sp.GK, ahli gizi dari Semanggi Klinik Jakarta.
Untuk membentuk pola makan sehat untuk anak diperlukan proses yang panjang dan kegigihan orangtua. "Ibu harus kreatif dalam mengenalkan kebiasaan makan sehat pada anak," kata Fiastuti. Secara umum ada tiga hal yang perlu diperhatikan para ibu untuk membentuk pola makan anak.
1. Jumlah
Makanlah sesuai kebutuhan kalori, tidak kekurangan dan tidak berlebih. Anak dengan berat badan 1-10 kg, membutuhkan 100 kal/kilogram berat badan. Sementara itu anak yang bobotnya 10-20 kg membutuhkan kalori 50 kal/kg BB (ditambah 1000 kalori).
2. Jenis
Penuhi kebutuhan gizi yang meliputi karbohidrat, protein nabati dan hewani, buah-buahan, sayuran, lemak serta susu. Agar anak cepat menyukai makanannya, sebaiknya menu makan anak disamakan dengan menu keluarga agar anak tidak cepat bosan. Yang perlu dimodifikasi  mungkin rasa pedasnya.
3. Jadwal
Buatlah jadwal makan yang teratur. Waktu makan anak adalah tiga kali makan utama dan dua kali snack. Biasakan juga anak untuk sarapan sebagai persiapan energi sebelum beraktivitas. Sangat dianjurkan untuk melibatkan anak pada acara makan bersama. Melalui kegiatan ini anak bisa mengamati dan belajar tentang kebiasaan dan cara makan yang baik.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More